Korupsi
adalah penyakit moral, bahkan kecenderungannya semakin berkembang
dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu
dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan
kajian psikologis, budaya dan normatif, secara simultan dan
berkelanjutan dengan melibatkan semua unsur terkait, baik unsur-unsur
Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat luas.
Kata kunci: korupsi, kajian psikologi (individu), budaya, dan normative (sistem aturan yang berlaku)
Sejarah
korupsi memang setua usia manusia. Ketika manusia mengenal relasi
sosial berbasis uang atau barang, maka ketika itu sebenarnya sudah
terjadi yang disebut korupsi. Hanya saja memang kecanggihan dan kadar
korupsinya masih sangat sederhana. Akan tetapi sejalan dengan perubahan
kemampuan manusia, maka cara melakukan korupsi juga sangat variatif
tergantung kepada bagaimana manusia melakukan korupsi tersebut. Jadi,
semakin canggih manusia merumuskan rekayasa kehidupan, maka semakin
canggih pula pola dan model korupsinya.
Untuk
menemukan penyebab korupsi, maka saya ingin menggunakan konsepsi Alfred
Schutz tentang because motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di
dalam konsepsi ini, maka dapat dinyatakan bahwa tindakan manusia
ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor penyebabnya. Maka seseorang
melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor
penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.
Manusia
dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang sangat
mengedepan. Dunia kapitalistik memang ditandai salah satunya ialah
akumulasi modal atau kepemilikan yang semakin banyak. Semakin banyak
modal atau akumulasi modal maka semakin dianggap sebagai orang yang kaya
atau orang yang berhasil. Maka ukuran orang disebut sebagai kaya atau
berhasil adalah ketika yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang
kelihatan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada outward appearance yang
tampak di dalam kehidupan sehari-harinya. Cobalah kalau kita berjalan di
daerah-daerah yang tergolong daerah komunitas kaya, maka hal itu cukup
dilihat dengan seberapa besar rumahnya, di daerah mana rumah tersebut,
dan apa saja yang ada di dalam rumah tersebut, maka dengan mudah dapat
diketahui bahwa ada perumahan yang tergolong sebagai perumahan ”elit”.
Di
tengah kehidupan yang semakin sekular, maka ukurannya adalah seberapa
besar seseorang bisa mengakses kekayaan. Semakin kaya, maka semakin
berhasil. Maka ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa
mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di
dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena
persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka
seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana
kekayaan tersebut diperoleh.
Dalam
banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena
ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu
ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan
sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi,
maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Jadi, jika menggunakan
cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab
korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap
kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses
kekayaan. Korupsi dengan demikian kiranya akan terus berlangsung, selama
masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan. Semakin
banyak orang salah dalam memandang kekayaan, maka semakin besar pula
kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
Faktor
tersebut diatas yaitu faktor yang dikarenakan motif hanya bisa dilihat
dari sudut pandang tingkatan sosial saja yaitu dari aspek kekayaan.
Dalam buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang
diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun
1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di
Indonesia terdiri atas 4(empat) aspek, yaitu:
a. Aspek
perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong
seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang
kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi
kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup
konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya
ajaran-ajaran agama secara benar.
b. Aspek
organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur
organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai,
kelemahan system pengendalian manajemen, dan kecenderungan manajemen
menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasinya.
c. Aspek
masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana
individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang
berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran
bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah
masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta
pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat
ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian dalam
budaya bangsa Indonesia.
d. Aspek
peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan
perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan
kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan
perundang-undangan yang kurang memadai, yudisial review yang kurang
efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak
konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi
peraturan perundang-undangan.
Azhari
mengungkapkan faktor penyebab merajalelanya tindak korupsi kerena tiga
hal. Korupsi terjadi karena lemahnya control Negara terhadap aparatnya,
perlakukan hukum yang berbeda anatara penguasaha dan rakyat jelata dan
ringannya sanksi hukum terhadap para koruptor.
Lemahnya
control Negara dapat kita lihat dari ‘kerjasama’ yang baik antara yang
diperiksa dam yang memeriksa, meskipun telah ada pemeriksa khusus yang
sifatnya Independen didalam kelembagaan Negara seperti BPK, KPK dan
badan-badan lainnya, tetapi sering mereka dengan mudah mengatur agar
terlihat bersih karena mental korup telah merasuk secara mendalam
terhadap para aparat pemerintah.
Perlakuan
hukum yang berbeda dapat kita lihat ketika pejabat pemerintah
(eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang terlibat korupsi, mereka
berusaha untuk saling menutup-nutupi kasus korupsi, bahkan setelah
terbukti bersalah dipengadilan-pun pejabat tersebut tidak dipecat dan
tidak dipenjara. Vonis pengadilan bisa dinegosiasikan antara eksekutif,
legislatif, dan yudikatif untuk kepentingan politik (koalisi) jangka
panjang. Seorang anggota DPR yang terbukti korupsi dapat dibebaskan
dengan kompensasi tidak “mengganggu” pemerintah (eksekutif). Sedangkan
maling-maling kecil dari rakyat jelata, bahkan hanya mencuri sepasang
sandal saja atau mengambil buah kapas saja segera dipenjara.
Ringannya
sanksi hukum dapat kita amati dari miliyaran bahkan triliunan rupiah
uang rakyat yang di korup, sanksi yang harus ditanggung hanyalah satu
tahun atau beberapa tahun penjara saja. Bandingkan dengan pencopet
puluhan ribu rupiah saja yang dihukum dengan waktu yang sama. Disamping
itu mereka tidak diharuskan untuk mengembalikan harta yang mereka korup,
karena mereka bisa dengan pintar untuk mengatasnamakan keluarganya atas
asset yang mereka peroleh dari korupsi. Sehingga sanksi yang ringan ini
tidak membuat jera pelakunya, setelah bebas dari penjara mereka
menikmati harta miliyaran yang mereka korup.
Sedangkan menurut S. H. Alatas korupsi terjadi disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
a) Ketiadaan
atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu
memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi,
b) Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika,
c) Kolonialisme,
d) Kurangnya pendidikan,
e) Kemiskinan,
f) Tiadanya hukuman yang keras,
g) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi,
h) Struktur pemerintahan,
i) Perubahan radikal, dan
j) Keadaan masyarakat.
Abdullah
Hehamahua juga melihat ada tiga faktor penyebab korupsi di Indonesia,
yaitu: pertama, konsumsi tinggi dan rendahnya gaji. Sudah jadi rahasia
umum bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat konsumtif,
tidak sedikit yang sampai shopping ke luar negeri sementara gaji
pegawai rata-rata di Indonesia hanya cukup dua minggu. Nasib dua minggu
berikutnya tergantung dari kreatifitasnya masing-masing yang salah satu
kreatifitas tersebut dengan melakukan KKN. Kedua, Pengawasan pembangunan
yang tidak efektif. Karena pengawasan pembangunan yang lemah maka
membuka peluang yang seluas-luasnya untuk melakukan penyalahgunaan
semisal mark up dan lain sebagainya, dan ketiga, sikap serakah pejabat.
Lebih
lanjut menurut Hehamahua, meskipun KKN terjadi disebabkan tiga faktor
di atas, tetapi jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya ada tiga persoalan
lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu: Pertama,
sistem pembangunan yang keliru. Kesalahan terbesar pemerintah Orde Lama
yang kemudian diteruskan Orde Baru adalah menerapkan sistem pembangunan
yang keliru, yaitu mengikuti secara membabi buta intervensi Barat.
Kedua, kerancuan institusi kenegaraan. Tumpang tindihnya fungsi dan
peran institusi negara menyuburkan praktek KKN di Indonesia. Dan ketiga,
tidak tegaknya supremasi hukum. Hukum hanya tegak ketika berhadapan
dengan orang ‘kecil’ seperti pencuri ayam tetapi hukum bisu ketika harus
berhadapan orang ‘besar’ seperti para koruptor yang telah mencuri uang
rakyat. Hukum bisa dibeli, maka tak heran kalau banyak para terdakwa
yang telah diputus bersalah tetap bebas leluasa berkeliaran bahkan ada
yang bisa menjadi calon presiden.
Prasyarat
keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya
komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat
secara konkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara.
2.3. Akibat-Akibat Korupsi
David
H. Bayley menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi tanpa memperhatikan
apakah akibat-akibat itu baik atau buruk bisa dikategorikan menjadi dua.
Pertama, akibat-akibat langsung tanpa perantara. Ini adalah
akibat-akibat yang merupakan bagian dari perbuatan itu sendiri. Kedua,
akibat-akibat tak langsung melalui mereka yang merasakan bahwa perbuatan
tertentu, dalam hal ini perbuatan korupsi telah dilakukan.
Mc
Mullan (dalam Saleh, K. Wantjik: 1983) menyatakan bahwa akibat korupsi
adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai
pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan
untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata
politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar
negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata
administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,
hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
5. Secara
umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
6. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
7. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
8. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
2.4. Strategi Pencegahan Korupsi
Ada beberapa Strategi yang patut dipertimbangkan dalam pelaksanaan penumpasan korupsi di Indonesia ini, adalah sebagai berikut.
1. Strategi Preventif.
Strategi
preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara
menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang
terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:
a. Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat;
b. Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya;
c. Membangun kode etik di sektor publik.,
d. Membangun kode etik Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis;
e. Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan ;
f. Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri;
g. Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah;
h. Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;
i. Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN).
j. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; dan
k. Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional.
2. Strategi Detektif
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan:
a. Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat;
b. Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu;
c. Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;
d. Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional;
e. Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional;
f. Peningkatan kemampuan SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.
3. Strategi Represif.
Strategi
represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi
represif dapat dilakukan dengan:
a. Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi;
b. Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes);
c. Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas;
d. Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik;
e. Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus;
f. Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu;
g. Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya;
h. Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.
Pelaksanaan
strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas
akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa,
baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya
mewujudkan startegi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang
bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan
menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan
fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control),
maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan
masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar