Sabtu, 30 Juni 2012

Korupsi adalah penyakit moral, bahkan kecenderungannya semakin berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan kajian psikologis, budaya dan normatif, secara simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat luas.
Kata kunci: korupsi, kajian psikologi (individu), budaya, dan normative (sistem aturan yang berlaku)


Sejarah korupsi memang setua usia manusia. Ketika manusia mengenal relasi sosial berbasis uang atau barang, maka ketika itu sebenarnya sudah terjadi yang disebut korupsi. Hanya saja memang kecanggihan dan kadar korupsinya masih sangat sederhana. Akan tetapi sejalan dengan perubahan kemampuan manusia, maka cara melakukan korupsi juga sangat variatif tergantung kepada bagaimana manusia melakukan korupsi tersebut. Jadi, semakin canggih manusia merumuskan rekayasa kehidupan, maka semakin canggih pula pola dan model korupsinya.
Untuk menemukan penyebab korupsi, maka saya ingin menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.
Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang sangat mengedepan. Dunia kapitalistik memang ditandai salah satunya ialah akumulasi modal atau kepemilikan yang semakin banyak. Semakin banyak modal atau akumulasi modal maka semakin dianggap sebagai orang yang kaya atau orang yang berhasil. Maka ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil adalah ketika yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada outward appearance yang tampak di dalam kehidupan sehari-harinya. Cobalah kalau kita berjalan di daerah-daerah yang tergolong daerah komunitas kaya, maka hal itu cukup dilihat dengan seberapa besar rumahnya, di daerah mana rumah tersebut, dan apa saja yang ada di dalam rumah tersebut, maka dengan mudah dapat diketahui bahwa ada perumahan yang tergolong sebagai perumahan ”elit”.
Di tengah kehidupan yang semakin sekular, maka ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses kekayaan. Semakin kaya, maka semakin berhasil. Maka ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka  seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.
Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan. Korupsi dengan demikian kiranya akan terus berlangsung, selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, maka semakin besar pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
Faktor tersebut diatas yaitu faktor yang dikarenakan motif hanya bisa dilihat dari sudut pandang tingkatan sosial saja yaitu dari aspek kekayaan. Dalam  buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4(empat) aspek, yaitu:
a.    Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar.
b.    Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan system pengendalian manajemen, dan kecenderungan manajemen menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasinya.
c.    Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.
d.    Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, yudisial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Azhari mengungkapkan faktor penyebab merajalelanya tindak korupsi kerena tiga hal. Korupsi terjadi karena lemahnya control Negara terhadap aparatnya, perlakukan hukum yang berbeda anatara penguasaha dan rakyat jelata dan ringannya sanksi hukum terhadap para koruptor.
Lemahnya control Negara dapat kita lihat dari ‘kerjasama’ yang baik antara yang diperiksa dam yang memeriksa, meskipun telah ada pemeriksa khusus yang sifatnya Independen didalam kelembagaan Negara seperti BPK, KPK dan badan-badan lainnya, tetapi sering mereka dengan mudah mengatur agar terlihat bersih karena mental korup telah merasuk secara mendalam terhadap para aparat pemerintah.
Perlakuan hukum yang berbeda dapat kita lihat ketika pejabat pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang terlibat korupsi, mereka berusaha untuk saling menutup-nutupi kasus korupsi, bahkan setelah terbukti bersalah dipengadilan-pun pejabat tersebut tidak dipecat dan tidak dipenjara. Vonis pengadilan bisa dinegosiasikan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk kepentingan politik (koalisi) jangka panjang. Seorang anggota DPR yang terbukti korupsi dapat dibebaskan dengan kompensasi tidak “mengganggu” pemerintah (eksekutif). Sedangkan maling-maling kecil dari rakyat jelata, bahkan hanya mencuri sepasang sandal saja atau mengambil buah kapas saja segera dipenjara.
Ringannya sanksi hukum dapat kita amati dari miliyaran bahkan triliunan rupiah uang rakyat yang di korup, sanksi yang harus ditanggung hanyalah satu tahun atau beberapa tahun penjara saja. Bandingkan dengan pencopet puluhan ribu rupiah saja yang dihukum dengan waktu yang sama. Disamping itu mereka tidak diharuskan untuk mengembalikan harta yang mereka korup, karena mereka bisa dengan pintar untuk mengatasnamakan keluarganya atas asset yang mereka peroleh dari korupsi. Sehingga sanksi yang ringan ini tidak membuat jera pelakunya, setelah bebas dari penjara mereka menikmati harta miliyaran yang mereka korup.
Sedangkan menurut S. H. Alatas korupsi terjadi disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
a)    Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi,
b)    Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika,
c)    Kolonialisme,
d)    Kurangnya pendidikan,
e)    Kemiskinan,
f)     Tiadanya hukuman yang keras,
g)    Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi,
h)   Struktur pemerintahan,
i)     Perubahan radikal, dan
j)      Keadaan masyarakat.
Abdullah Hehamahua juga melihat ada tiga faktor penyebab korupsi di Indonesia, yaitu: pertama, konsumsi tinggi dan rendahnya gaji. Sudah jadi rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat konsumtif, tidak sedikit yang sampai shopping ke luar negeri sementara gaji pegawai rata-rata di Indonesia hanya cukup dua minggu. Nasib dua minggu berikutnya tergantung dari kreatifitasnya masing-masing yang salah satu kreatifitas tersebut dengan melakukan KKN. Kedua, Pengawasan pembangunan yang tidak efektif. Karena pengawasan pembangunan yang lemah maka membuka peluang yang seluas-luasnya untuk melakukan penyalahgunaan semisal mark up dan lain sebagainya, dan ketiga, sikap serakah pejabat.
Lebih lanjut menurut Hehamahua, meskipun KKN terjadi disebabkan tiga faktor di atas, tetapi jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya ada tiga persoalan lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu: Pertama, sistem pembangunan yang keliru. Kesalahan terbesar pemerintah Orde Lama yang kemudian diteruskan Orde Baru adalah menerapkan sistem pembangunan yang keliru, yaitu mengikuti secara membabi buta intervensi Barat. Kedua, kerancuan institusi kenegaraan. Tumpang tindihnya fungsi dan peran institusi negara menyuburkan praktek KKN di Indonesia. Dan ketiga, tidak tegaknya supremasi hukum. Hukum hanya tegak ketika berhadapan dengan orang ‘kecil’ seperti pencuri ayam tetapi hukum bisu ketika harus berhadapan orang ‘besar’ seperti para koruptor yang telah mencuri uang rakyat. Hukum bisa dibeli, maka tak heran kalau banyak para terdakwa yang telah diputus bersalah tetap bebas leluasa berkeliaran bahkan ada yang bisa menjadi calon presiden.
Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara konkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara.
2.3.        Akibat-Akibat Korupsi
David H. Bayley menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi tanpa memperhatikan apakah akibat-akibat itu baik atau buruk bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama, akibat-akibat langsung tanpa perantara. Ini adalah akibat-akibat yang merupakan bagian dari perbuatan itu sendiri. Kedua, akibat-akibat tak langsung melalui mereka yang merasakan bahwa perbuatan tertentu, dalam hal ini perbuatan korupsi telah dilakukan.
Mc Mullan (dalam Saleh, K. Wantjik: 1983) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1.    Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2.    Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3.    Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4.    Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
5.    Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
6.    Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
7.    ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
8.    pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
2.4.        Strategi Pencegahan Korupsi
Ada beberapa Strategi yang patut dipertimbangkan dalam pelaksanaan penumpasan korupsi di Indonesia ini, adalah sebagai berikut.

1.     Strategi Preventif.
Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:
a.      Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat;
b.      Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya;
c.      Membangun kode etik di sektor publik.,
d.      Membangun kode etik Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis;
e.      Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan ;
f.       Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri;
g.      Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah;
h.      Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;
i.        Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN).
j.        Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; dan
k.      Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional.
2.     Strategi Detektif
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan:
a.    Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat;
b.    Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu;
c.    Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;
d.    Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional;
e.    Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional;
f.     Peningkatan kemampuan SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.
3.     Strategi Represif.
Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan:
a.    Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi;
b.    Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes);
c.    Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas;
d.    Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik;
e.    Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus;
f.     Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu;
g.    Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya;
h.    Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.
Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan startegi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar